MENJADI BERMANFAAT : CERITA KADER FATAYAT NU
#kaderpenggerak
#AUTOBIOGRAFI
MENJADI BERMANFAAT : CERITA KADER FATAYAT NU
Oleh
: Siti Ainul Fahmiyah, S.Pd.I.*
Namaku Siti Ainul Fahmiyah,
teman-teman biasa memanggilku Ainul dan panggilan kecilku yang lain adalah
Enung (dengan vokal ‘e’ seperti dalam kata “ikan lele”). Aku dilahirkan di
Tegal pada tanggal 10 Maret 1979. Aku anak ketiga dari empat bersaudara yang
terlahir dari pasangan Bapak Mochammad Asjiqin Cholil (kami memanggilnya
“Abah”) dan Ibu Umi Fadlilah. Saat ini saya berprofesi sebagai Guru Swasta di
MTs NU 1 Kramat Kabupaten Tegal. Dan anggota Tim 9 Guru Inti Mata Pelajaran
Akidah Akhlak MTs. Kabupaten Tegal.
Abah dan ibuku keduanya Pegawai
Negeri Sipil yang mengabdi sebagai guru agama di 2 (dua) Madrasah Tsanawiyah (MTs)
yang berbeda di Kota Tegal. Kehidupan keluargaku sangat sederhana. Abahku yang
bisa dikatakan sebagai Kyai Kampung, bersama teman-teman seperjuangannya,
beliau mendirikan Yayasan Pendidikan
Islam Assalafiyah Asysyafi’iyyah di Desa kelahiranku, Desa Mejasem Timur Kecamatan
Kramat Kabupaten Tegal Jawa Tengah yang terletak di daerah pantura (pantai
utara Jawa) dekat perbatasan Kota Tegal. Yayasan tersebut pada mulanya mengelola
pendidikan dasar MI (Madrasah Ibtidaiyyah). Awal pendirian yayasan ini, Abah
dan teman-teman banyak mendapat tantangan dari warga sekitar lokasi yang dapat
dikatakan masih “abangan”.
Tantangan lain juga datang dari
penghuni kebun, tempat rencana didirikannya yayasan, yang tak kasat mata.
Mereka seperti mengamuk tak terima tempat tinggalnya terancam akan tergusur.
Konon banyak warga sekitar, guru dan siswa yang sampai sekarang masih sering
melihat penampakan mereka di lokasi yayasan, khususnya di sekitar MI. Saat
pembangunan gedung madrasah juga terjadi tragedi jatuhnya salah satu pekerja
bangunan di lokasi proyek sampai meninggal dunia. Karena peristiwa tersebut,
Abah sebagai penanggung jawab kegiatan, terpaksa harus bermalam di Kantor
Polisi setempat untuk dimintai keterangan. Namun kejadian demi kejadian yang
tidak menyenangkan tak menghalangi niat Abah dan kawan-kawan untuk tetap
melanjutkan pembangunan gedung pendidikan madrasah demi syiarnya agama Islam di
Desa kami.
Beberapa tahun kemudian, ibuku juga
memprakarsai berdirinya lembaga pendidikan pra sekolah yakni TK Masyithoh di
bawah naungan yayasan tersebut, kemudian merintis Taman Pendidikan Al Qur’an
Muslimat NU. Karena bukan dari kalangan berada, kedua orang tuaku rela
menyisihkan sebagian gaji mereka untuk menyicil tanah pekarangan dan biaya untuk
pembangunan madrasah. Demikian yang aku dengar dari salah satu teman Abah saat
saya sudah dewasa. Ibuku juga mengajarkanku untuk berwirausaha dengan berjualan
es lilin dengan dititipkan di warung sekolahku dan keliling kampung sepulang
sekolah.
Di TK Masyithoh Sulang Mejasem Timur
aku mendapat pendidikan pra sekolah, kemudian melanjutkan ke jenjang Pendidikan
Dasar di MI Al Hidayah Mejasem Timur, Kramat, Tegal. Selepas lulus MI pada
tahun 1991, aku melanjutkan pendidikan di MTs Assalafiyyah Kota Tegal, tempat
Abahku mengajar hingga lulus tahun 1994. Awalnya, atas saran dari seorang
guruku di MI, aku mau mendaftar ke SMP Negeri favorit Kota Tegal, karena
kebetulan nilai ujianku termasuk cukup untuk bisa bersaing masuk sekolah
tersebut. Tetapi Abah menolak dengan tegas. “Silahkan saja kamu daftar ke SMP,
Abah tidak mau mbayari. Sana kamu jualan tempe atau gorengan buat bayar
sekolah sendiri!”. Seperti itu kira-kira ucapan Abah saat aku bilang mau daftar
ke SMP. Akhirnya aku masuk ke MTs yang lebih banyak muatan pendidikan agamanya.
Di
kelas 3 (tiga) MTs aku merasakan kehilangan yang sangat mendalam. Ibunda
tercinta berpulang ke rahmatullah setelah terjatuh di kamar mandi dan masuk ICU
beberapa hari. Kepergian ibu membuatku sangat terpukul. Bagiku, Ibu adalah
teman sekaligus guru yang sangat aku sayangi. Saat aku kecil, beliau kerapkali
mengajakku ke pengajian ibu-ibu Muslimat di desaku bahkan ke daerah-daerah lain
di Kabupaten Tegal, karena sepertinya beliau pengurus Muslimat NU Kabupaten
Tegal saat itu, entah aku kurang tahu pasti. Beliau pula yang selalu menyemangatiku
untuk untuk giat belajar. Saat ada temanku yang meledekku punya teman dekat,
ibu langsung menyela, “Tidak boleh pacaran! Belajar saja biar pintar!”. (bersambung...☺)
Komentar
Posting Komentar